Tidak ada yang lebih penting dalam pergaulan umat manusia di dunia ini selain komunikasi yang bertujuan untuk menyampaikan suatu pikiran, gagasan atau ide, atau pesan dari seseorang kepada orang lain. Kita berkewajiban untuk mengupayakan segala cara untuk menggunakan semua alat yang ada agar penyuluhan menjadi efektif. media penyuluhan ini adalah salahsatu media visual yang memaparkan penyuluhan pada komoditi bidang pertanian, perikanan dan kehutanan.

Dampak Pengetatan Ekspor Pemasaran Ikan Hias

Keanekaragaman hayati Indonesia sungguh tak terbantahkan. Sebut satu diantaranya, ikan hias. Tercatat bahwa 70 % keanekaragaman ikan hias di dunia bisa ditemukan di Bumi Khatulistiwa ini. Tak heran jika perkembangan produksi budidaya ikan hias di tanah air dalam beberapa tahun tahun terakhir meningkat pesat.
Pemasaran ikan hias tersebut sebagian besar ke luar negeri. Ironisnya, sejak lama bukan Indonesia yang punya nama untuk urusan ikan hias tapi justru negara tetangga yang miskin sumber daya alam. Penataan perdagangan ikan hias mulai digelontorkan, desakan perbaikan pasar dari berbagai pihak muncul.
Juni 2014, diterbitkan Peraturan Menteri (Permen) Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 21/Permen-KP/2014 tentang larangan pengeluaran ikan hias anak ikan arwana, benih ikan botia hidup, dan ikan botia hidup dari Wilayah Negara Republik Indonesia ke Luar Wilayah Negara Republik Indonesia. Maman Hermawan, Direktur Pengembangan Produk Non-Konsumsi Kementerian Kelautan dan Perikanan mengatakan tujuan dari Permen tersebut agar produk Indonesia memiliki nilai tambah dan berdaya saing.
Perbaikan Pasar Ekspor
Menjawab persoalan pemasaran ikan hias, Maman menyatakan, dengan peraturan ini berharap pasar ekspor Indonesia untuk jenis yang diatur dapat lebih tertata. “Peraturan ini terlahir dari fakta di lapangan telah ada penggerusan sumber daya ikan hias yang tidak bertanggung jawab karena merugikan bagi stok dan ekonomi Indonesia,” jelasnya.
Diungkapkan Maman, berapa tahun belakangan ini, didapat informasi bahwa importir dari Cina dan Singapura masuk ke Jambi, mereka membeli ikan hias yang kecil, bahkan masih punya kantung telur, dari fakta itu maka dibuat regulasi dan dibuat standar nasional indonesia. “Permen itu sudah terbit, tepatnya 28 Mei 2014,” ucap Maman.
Dampak dari peraturan ini dirasakan Maman cukup signifikan. Meski baru tahun, lanjutnya,  lalu  tapi sesungguhnya dari 2 tahun lalu pihaknya telah lakukan provokasi bahayanya pihak luar membeli secara bebas, bahayanya sangat luas,dan beberapa banyak yang sudah menyadari.
Sejak setahun belakangan Indonesia kini berada di urutan ke tiga, diantaranya karena pembatasan ekspor ukuran minimum. Pertumbuhan ekspor ikan hias juga signifikan, contoh dulu ekspor ikan hias yang langsung  ke Cina nilai hanya US$ 3 juta sekarang US$ 16 juta.
Latar belakang hadirnya aturan ini, menurut Maman, pemerintah menginginkan nilai tambah untuk ikan arwana. Hal ini karena selama ini ikan arwana diekspor dalam ukuran kecil sehingga sangat murah, mungkin ratusan ribu sampai 1,5 juta rupiah sajaper ekor, tapi dengan Permen KP ini harganya bisa meningkat hingga 3 – 4 kali lipat. “Jelas ada nilai tambah untuk produk kita,” ucap Maman.
Kedua, dalam rangka penguatan branding (citra) nasional. Ia menjelaskan, ikan hias bila dijual pada saat ikan kecil masih belum jelas identitasnya, begitu besar dilabel oleh luar negeri seolah-olah ikan tersebut bukan dari Indonesia. Terutama ikan Arwana, sebelumnya memang telah ada ketentuan ikan yang boleh diekspor ukurannya minimal 12 cm, berkaitan dengan kewajiban pemasangan mikro chip. “Maka tidak mungkin ikan ukuran 6 – 10 cm dipasangi mikro chip, pelaku usaha pun telah mengetahui jika ukuran ikan arwana di atas 12 cm paling ideal, aman, tidak ada gangguan fisik ketika dipasangi mikro chip,” paparnya.
Ditambah lagi ikan yang dijual dengan ukuran besar tentu memiliki harga lebih mahal, beda dengan ikan baby. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), sebagai scientist otority, diungkap Maman juga telah setuju dengan ukuran tersebut.
Sementara untuk ikan botia, saat ini kondisinya sudah hampir punah karena selama ini diperjual belikan dalam keadaan masih mempunyai kantung telur. Jadi pembudidayaikan hias Indonesia hanya menjadi pengasuh ikan. “Kita gak bisa jadi pengasuh terus. Ukuran maksimum juga perlu batasi  karena indukan siap bertelur itu jika terus menerus dijual akan musnah,” ucap Maman. Lama-lama Indonesia akan kehilangan ikan endemiknya. Dasarnya pemerintah ingin ada penguatan nilai tambah dan daya saing produk.
Sejauh penerapan peraturan tersebut, diakui Maman tidak ada pelaku yang protes.Demi kepentingan industri ikan hias nasional, pihaknya  tidak akan mencabut permen tersebut. Bagi beberapa pihak (eksportir) yang telah melalukan kontrak sebelum permen ini dikeluarkan, Maman berharap dapat lebih bijak dan berharap pihak tersebut bisa melihat betapa lebih besarnya arti permen tersebut bagi kepentingan bangsa. 
Sumber : Majalah Trobos

Selengkapnya baca di majalah TROBOS Aqua Edisi-34/ 15 Mar 2014 - 15 Apr 2015
Previous
Next Post »
Post a Comment
Thanks for your comment