
Ketua Asosiasi Rumput Laut Indonesia (Arli) Safari Aziz menyebutkan tahun lalu produksi rumput laut basah mencapai 6,2 juta ton atau setara 159 ribu ton rumput laut kering. Sekitar 20 persennya diserap oleh industri lokal sedangkan sisanya diekspor. Salah satu negara tujuan ekspor terbesar yaitu Tiongkok, sekitar 50 persen dari produksi.
"Komposisi itu membuat Tiongkok yang notabene bukan negara produsen justru yang menentukan nasib rumput laut Indonesia. Itu sangat ironis sekali," terangnya saat ditemui di Jakarta, Senin (15/4). Ia mengungkapkan, harga jual yang diterima oleh petani mencapai Rp 7-8 ribu per kilogram, sedangkan harga ekspor mencapai Rp 12 ribu per kilogram.
Pada kesempatan yang sama, Kepala Bidang Produksi dan Pemasaran Deputi Pembinaan Ekonomi Daerah Kementerian Pengembangan Daerah Tertinggal Teuku Chairul menyatakan bakal membuat sentra budidaya rumput laut di 33 kabupaten. Daerah itu terletak di Indonesia Timur, seperti di daerah pesisir Nusa Tenggara Barat dan Timur, Maluku, serta Sulawesi Tenggara. "Nantinya daerah itu bakal membuat olahan rumput laut sebagai bahan baku makanan atau pun kosmetik," jelasnya.
Untuk mensukseskan rencana itu pihaknya bakal menggandeng pihak swasta. Bahkan saat ini Kementerian Pengembangan Daerah Tertinggal telah menyiapkan regulasi untuk menawarkan investasi budidaya hasil laut tersebut. Regulasi itu ditargetkan rampung akhir tahun ini.
"Siklus budidaya rumput laut cepat hanya sekitar 45 hari sudah bisa panen. Jika digarap serius itu akan mengembangkan perekonomian daerah tertinggal. Kami akan tarik investor dan kami fasilitas MoU (memorandum of understanding, Red) nya," jelasnya.
Sumber : Fajar On-Line