Tidak ada yang lebih penting dalam pergaulan umat manusia di dunia ini selain komunikasi yang bertujuan untuk menyampaikan suatu pikiran, gagasan atau ide, atau pesan dari seseorang kepada orang lain. Kita berkewajiban untuk mengupayakan segala cara untuk menggunakan semua alat yang ada agar penyuluhan menjadi efektif. media penyuluhan ini adalah salahsatu media visual yang memaparkan penyuluhan pada komoditi bidang pertanian, perikanan dan kehutanan.

Mari Beternak Sapi Tanpa Biaya Dengan Sistem Integrasi Sapi - Sawit

Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) Peternakan melakukan penelitian program integrasi sawit-sapi di Kobar selama tiga hari. Prof Dr Kusuma Diwyanto sebagai peneliti utama melihat program tersebut bisa menjadi percontohan skala nasional.
Program integrasi sawit-sapi di Kobar menarik perhatian Puslitbang Peternakan. Selama tiga hari, peneliti berada di Kobar untuk mengeksplorasi program yang dijalankan Kelompok Tani Subur Makmur Desa Pangkalan Tiga ini.

Kusuma Diwyanto mengatakan, ada dua tempat yang diteliti, yakni di Sulung Ranch dan di Kelompok Tani Subur Makmur. Ia melihat kombinasi yang dilakukan dalam integrasi sawit-sapi ini termasuk sangat bagus, baik itu dari sisi kesejahteraan masyarakat, produktifitas perkebunan, maupun usaha sapinya itu sendiri.

Yang menarik, kata Kusuma, ada aliran pakan dari pabrik kelapa sawit yang menjadi bahan utama pakan sapi untuk Kelompok Tani Subur Makmur. Lalu, kotoran sapi diolah menjadi kompos yang nilainya jauh lebih tinggi dari biaya pakan. ”Ini kalau kita hitung, lebih efesien dari pada Australia,” ungkap Kusuma di sela-sela kepulangannya melalui Bandara Iskandar Pangkalan Bun kemarin.
Jika pola integrasi sawit sapi yang dilakukan Kelompok Tani Subur Makmur diterapkan secara masif, Kobar bukan hanya bisa swasembada daging, tetapi bisa menjadi eksportir sapi. Sebab, biaya untuk memproduksi pakan sapi untuk pembibitan atau perkembangbiakan itu kurang dari Rp 2 ribu perhari. Apalagi setiap satu tahun sapi bisa beranak. Jadi biaya pakan untuk menghasilkan satu ekor pedet (anak sapi) itu hanya Rp 1,6 juta, sementara kalau di Lampung biayanya untuk menghasilkan satu ekor pedet butuh Rp 9 juta.

Di Australia, beber Kusuma, untuk menghasilkan satu pedet memang di bawah Rp 1 juta. Tapi yang menjadi kelibihan di Kobar adalah kotoran dikonversi menjadi kompos. Biaya pakan Rp 4 ribu sehari, namun setelah menjadi kompos memiliki nilai lebih tinggi, yakni Rp 10 ribu per hari.

“Kotoran sapi dipergunakan sebagai pupuk kompos menggantikan pupuk organik sawit. Itu ternyata tetap menguntungkan. Ini tidak dipunyai oleh dunia manapun selain Indonesia,” terangnya.

Sistem integrasi sawit-sapi di Kobar bukan hanya tanpa limbah, tetapi sudah lebih dari zero cost atau memelihara sapi tanpa biaya. Menurut Kusuma, peternak sapi tadi menjadi bagian integral dari industri kelapa sawit dalam menyupali kompos.

Ia membeberkan, jika industri sawit di Kalteng memposisikan dirinya sebagai peternak sapi atau memposisikan pegawai kebun untuk bertenak sapi, dia yakin Kalteng akan booming sapi.

Dari hasil penelitiannya, ada beberapa rekomendasi yang disampaikan. Pertama, kelompok tani harus mendapat kemudahan pinjaman berbunga rendah dari perbankan. Selanjutnya, Kobar perlu mendatangkan sapi-sapi untuk dikembangbiakkan.

“Ini prestasi yang luar biasa. Di tempat lain mungkin ada, tetapi tidak sebagus di sini. Saya melihat bahwa kerjasama antara pabrik dengan Kelompok Tani Subur Makmur, bagus. Kobar bisa menjadi percontohan skala nasional. Kalau kemarin-kemarin petani di sini belajar di Medan, di Solo dan sebagainya, ke depan seluruh Indonsia akan belajar disini,” pungkasnya

Sumber Berita: http://www.radarsampit.net/berita-lebih-efisien-dibanding-australia-.html#ixzz2cKrW1T00
Previous
Next Post »
Post a Comment
Thanks for your comment