Tidak ada yang lebih penting dalam pergaulan umat manusia di dunia ini selain komunikasi yang bertujuan untuk menyampaikan suatu pikiran, gagasan atau ide, atau pesan dari seseorang kepada orang lain. Kita berkewajiban untuk mengupayakan segala cara untuk menggunakan semua alat yang ada agar penyuluhan menjadi efektif. media penyuluhan ini adalah salahsatu media visual yang memaparkan penyuluhan pada komoditi bidang pertanian, perikanan dan kehutanan.

Buah Salak dari Pinrang (Sulsel) terkendala di pemasaran



Bumi Lasinrang Kabupaten Pinrang, selain dikenal sebagai sentra produksi padi/beras di Sulsel, juga terkenal dengan produksi buah salaknya. Komoditas salak yang banyak dibudidayakan di daerah ini adalah jenis gula-gula.
Petani di Desa Katomporang, Kecamatan Duampanua, Pinrang, menamai salak gula-gula dengan sebutan “salak muspida”. Bahkan karena produksi salak menjadi salah satu ikon pertanian/perkebunan di daerah ini, bila ada hajatan buah salah jadi sajian.

Hanya saja, kejayaan petani salak di daerah ini perlahan-lahan meredup. Itu terjadi akibat banyaknya tanaman salak yang rusak akibat seringnya banjir  akibat luapan Sungai Saddang. Tak hanya itu saja, kendala lain yang dihadapi petani salak adalah memasarkan produksi.
Selama ini, selain di lempar di pasar-pasar tradisional, buah salak juga dijajakan di pinggir-pinggir jalan. Ternyata dengan sistem penjualan seperti itu, tidak bisa mengcover semua produksi petani. Akibatnya sebagain produksi rusak.
“Harus dilakukan pembudidayaan tanaman salak. Saat ini pembudidayaan yang ada masih sebatas upaya petani saja, belum ada sentuhan dari pemerintah,” ungkap Kepala Desa Katomporang, Rustam Serrang, Minggu, 11 November lalu.
Desa yang berjarak sekira 20 km sebalah utara ibu kota Kabupaten Pinrang ini, berpenduduk sekitar 3015 jiwa (715 KK). Desa ini memiliki areal pertanahan seluas 1.150 hektare, di antaranya 1.000 hektare sawah. Sisanya lahan perkebunan salak.
Dengan budi daya salak muspida ini, selain mempertahankan dari kepunahan, tidak menutup kemungkinan dari areal kurang lebih 100 hektare saat ini, bisa menjadi 200 hektare.
Khusus perkebunan salak, lanjut kades Katomporang, dibutuhkan pembudidayaan salak muspida, sedikitnya 40 hektare. Namun, dengan keterbatasan bibit sehingga sebagian lahan perkebunan dialihkan menjadi areal tanaman padi.
“Harga yang tidak menentu serta terbatasnya pembibitan menjadi salah satu hambatan. Belum lagi kalau musim panen sebagian produksi rusak karena terbatasnya pemasaran,” tambah seorang petani salak, Muslimin, 45 tahun.
Muslimin mengakui, produksi salaknya memang mengalami peningkatan, namun banyak yang rusak akibat tidak terserap pasar.
Guna menyelamatkan petani salak, kata Muslimin seperti yang dikutip dari FAJAR online, seharusnya pemerintah melakukan pembinaan. Termasuk membantu mencarikan investor untuk mengelola produksi petani.
“Kalau petani Pulau Jawa, bisa mengembangkan kelebihan buah salaknya menjadi kripik salak. Kenapa Pinrang tidak?” katanya.
Sejalan dengan Muslimin, Yasseng, 50 tahun, mengaku memiliki luas kebun salak 25 are dengan  500 pohon. Tanaman salaknya, ada sekitar 125 pohon yang membutuhkan pembudidayaan dengan mengembangkan bibit salak pilihan.  Alasannya, memanam pohon salak, dianggap lebih memudahkan bagi petani meski jarak waktu tanam dengan padi lebih lama. Tapi sekali penen, kata dia, hasil buah salak ini bisa melebih hasil penjualan padi.
“Petani hanya membutuhkan investor terutama investor dalam pembudidayaan bibit salak muspida. Karena setelah berhasil sudah dipastikan hasil buah salak yang setiap tahunnya melimpah banyak terbuang percuma, ” harapnya.
Pemilik kebun salak lainnya, Hj Darawati, yang mengaku memiliki 650 pohon salak dan di antaranta 200 pohon salak muspida, tidak tahu mau dikemanakan buah salaknya yang kini melimpah. Ia menyebut, dulunya tahun ia bisa menjual salaknya sekarang (plastik pupuk ukuran 50 kg) terjual Rp180.000. “Tapi sekarang, dijual Rp 100 ribu pembeli paling tawar Rp80 ribu saja,” ungkapnya, seraya mengatakan, petani salak di Katomporang tidak akan kesulitan seandainya ada investor yang membuka usaha kripik salak karena bahan bakunya sudah tidak diragukan lagi.
Tentang harapan petani salak di Desa Katomporong, khususnya di Kabupaten Pinrang, menurut pihak Pengembangan Produksi Hortikultura Benih/bibit (PPHBB) Dinas Pertanian dan Peternakan Pinrang, upaya budi daya salak tetap menjadi prioritas. Tentu diutamakan bagi daerah pengembangan sentra salak seperti di Kecamatan Duampanua, Patampanua, dan Tiroang. Ini sudah dibuktikan dari pengembangan 148.137 pohon salak diharapkan tanaman ini akan memproduksi naik menjadi 296.994 pohon/rumpun.
“Tidak ada alasan pembudidayaan salak di daerah ini tidak dikembangkan terus. Hanya saja, pengembangannya memang dilakukan secara bertahap dimulai dari wilayah sentra persalakan,” kata Kasi PPHBB Dinas Pertanian dan Peternakan Pinrang, Ramli Tonda SP,M.Si, Senin, 12 November.



Di Pinrang, kata dia, ada tiga kecamatan yang menjadi sentra pengembangan salak yakni, Duapanua (termasuk Desa Katomporang) dari 139.348 pohon menjadi 112.241 pohon, Kecamatan Tiroang dari 4.135 pohon menjadi 6.260 pohon, dan disusul Kecamatan Patampanua 2.650 pohon naik menjadi 6.260 pohon
                                                                                                     Kiriman dari Gafar (Bugis Pos). Fajar Online

Previous
Next Post »
Post a Comment
Thanks for your comment