Tidak ada yang lebih penting dalam pergaulan umat manusia di dunia ini selain komunikasi yang bertujuan untuk menyampaikan suatu pikiran, gagasan atau ide, atau pesan dari seseorang kepada orang lain. Kita berkewajiban untuk mengupayakan segala cara untuk menggunakan semua alat yang ada agar penyuluhan menjadi efektif. media penyuluhan ini adalah salahsatu media visual yang memaparkan penyuluhan pada komoditi bidang pertanian, perikanan dan kehutanan.

Menulis bagi Penyuluh Pertanian! Ini Manfaat dan Keuntungannya

DIOLUHTAN. Menulis adalah sebuah aktifitas yang bisa dilakukan menggunakan alat tulis apa saja, oleh siapa saja, kapan saja dan di mana saja, ada yang kemudian bermanfaat bagi orang lain seperti menulis artikel di media, menulis buku, menulis jurnal, menulis laporan dan sebagainya, tapi ada juga menulis yang tidak bermanfaat bahkan bersifat merusak seperti menulis atau mencoret di dinding bangunan umum, halte, toilet, dan fasilitas umum lainnya, yang demikian itu tidak termasuk dalam kategori menulis.
Dalam kajian ilmiah tentang menulis, ada beberapa pendapat tentang definisi menulis, misalnya menurut Wikipedia, definisi menulis adalah “suatu kegiatan untuk menciptakan suatu catatan atau informasi pada suatu media dengan menggunakan aksara”. Sementara itu dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (WJS Purwadinata), mendefiniskan bahwa menulis adalah “melahirkan fikiran atau perasaan dengan tulisan”. Ada juga pendapat  Henry Guntur Tarigan (1986) mendefinisikan bahwa menulis adalah “kegiatan menuangkan ide/gagasan dengan menggunakan bahasa tulis sebagai media penyampai”, dan masih banyak lagi pendapat para pakar tentang definisi menulis.

Meski banyak pendapat atau pernyataan para ahli tentang menulis, tapi secara umum menulis dapat didefinisikan sebagai “kemampuan seseorang dalam mengemukakan gagasan fikirannya kepada orang atau fihak lain dengan media tulisan”. Artinya, menulis itu sebuah aktifitas seseorang mengemukakan ide, gagasan, fikiran, imajinasi dan pendapat dalam bentuk tulisan, agar ide-idenya dapat dibaca atau diketahui orang lain.
Awalnya orang menulis dengan menggunakan pena atau alat pengganti menulis lainnya dengan media daun lontar, batu, kulit binatang dan sebagainya, sebagaimana tercatat dalam sejarah peradaban manusia dari jaman ke jaman. Kemudian orang mulai menciptakan alat tulis yang lebih memudahkan aktifitas menulis seperti mesin ketik dan menciptakan kertas sebagai media menulis. Belakangan, orang dapat melakukan aktifitas menulis dengan memanfaatkan teknologi seperti computer, laptop, ipad, Iphone, Android dan sebagainya. Namun demikian tujuan menulis dari masa ke masa tetaplah sama, yaitu menyampaikan ide, gagasan atau imajinasi kepada orang lain dalam bentuk tulisan. Yang berkembang kemudian adalah adanya aturan atau kaidah, etika dan kode etik dalam menulis, agar tulisan yang dihasilkan tidak merugikan orang lain, tidak menyinggung SARA (Suku, Antar golongan, Ras dan Agama) dan tidak menimbulkan permusuhan atau kebencian.
Menulis, sejatinya bukan monopoli penulis, wartawan atau para pakar, siapa saja boleh dan bisa menulis, asal tetap memegang kaidah dan etika penulisan. Dosen, guru, mahasiswa, pelajar, karyawan, petani, buruh dan yang lainnya bisa saja menjadi seorang penulis, karena penulis hebat sekalipun, pasti memulai menulis dari titik yang paling bawah, kemudian berproses melalui pembelajaran dan pengulangan hingga mencapai “gelar” sebagai penulis terkenal.
Penyuluh pertanian, adalah salah satu profesi yang memberi peluang sangat besar bagi pelakunya untuk menjadi seorang penulis. Basik ilmu pengetahuan, keterampilan dan pengalaman di bidang pertanian, bisa menjadi ide awal bagi penyuluh untuk melahirkan berbagai karya tulis, karena rata-rata, semua penyuluh memiliki semua itu. Tapi realita yang kita lihat, masih jarang sekali penyuluh pertanian yang mau menulis, sehingga ide-ide cemerlang yang dimilikinya tidak diketahui oleh publik, karena publik tidak pernah membaca ide dan gagasan penyuluh itu dalam bentuk tulisan.
Mengapa Penyuluh Enggan Menulis?
Pertanyaan seperti itu kemudian yang timbul di benak kita, banyak penyuluh pertanian senior yang punya skill yang lebih dari memadai, memiliki pengalaman di lapangan selama puluhan tahun, tapi ilmu dan pengalamannya hanya disampaikan kepada para petani dalam bentuk vokal atau penyampaian secara lisan, jarang sekali disampaikan dalam bentuk verbal atau karya tulis. Sehingga ketika sang penyuluh pensiun atau meninggal dunia, tidak ada yang tertinggal dari ilmu dan pengalaman yang dimilikinya. Penyampaian ilmu dan pengalaman secara lisan hanya akan diingat sesaat oleh para petani, tapi jika ilmu dan pengalaman itu dituangkan dalam bentuk tulisan, tentu akan bisa dimanfaatkan oleh pera petani dalam waktu yang relatif lama, bahkan sampai sang penyuluh itu sudah tidak ada, karya-karyanya dalam bentuk tulisan masih akan bermanfaat bagi yang membacanya. Padahal kalau para penyuluh itu punya kemauan, tidaklah sulit bagi penyuluh untuk memulainya, setiap hari dia berhadapan dengan petani, bercengkerama dengan tanaman, tentu semua yang dilihat dan ditemui penyuluh setiap hari bisa jadi bahan yang menarik untuk sebuah tulisan.
Sebagaimana kita ketahui, bahwa penyuluh pertanian adalah sebuah jabatan fungsional yang mensyaratkan angka kredit untuk kenaikan pangkat atau golongannya. Untuk bisa naik pangkat atau golongan, seorang penyuluh harus mampu memenuhi atau mencapai angka kredit tertentu. Angka kredit bagi penyuluh pertanian dapat diperoleh dengan berbagai cara antara lain melalui kunjungan anjangsana kepada petani atau kelompok tani, melakukan pembinaan dan pendampingan kepada petani, memberikan penyuluhan melalui tatap muka atau pelatihan, membuat dan menyusun materi penyuluhan, dan masih banyak kegiatan lain yang bisa “menghasilkan” angka kredit,  lalu apa hubungannya dengan menulis?
Kementerian Pertanian melalui Peraturan Menteri Pertanian Nomor 35/Permentan/OT.140/2009 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Jabatan Penyuluh Pertanian dan Angka Kreditnya, memberikan peluang kepada para penyuluh untuk memperoleh angka kredit dengan jumlah yang sangat besar bagi penyuluh pertanian yang mau menulis atau menghasilkan karya tulis. Tentunya ini menjadi peluang yang sangat berharga bagi para penyuluh agar karirnya cepat “menanjak”.
Sebagai contoh, dalam Permentan itu disebutkan bahwa seorang penyuluh pertanian yang mampu menghasilkan tulisan dalam bentuk buku dan diterbitkan oleh penerbit yang memiliki ISBN, akan memperoleh angka kredit sampai 15, itu sama artinya dengan melakukan penyuluhan secara konvensional lebih dari 200 kali (satu kali melakukan penyuluhan hanya akan memperoleh angka kredit 0,07). Jika buku itu di”garap” oleh dua orang penyuluh, maka penulis utama akan memperoleh angka kredit 9 (60%) dan penulis pembantu akan mendapatkan angka kredit 6 (40%). Bayangkan kalau seorang penyuluh bisa menghasilkan dua buku setiap tahunnya, berapa angka kredit yang akan diperolehnya, tentu akan sangat membantu untuk bisa cepat naik pangkat.
Untuk karya tulis dalam bentuk artikel yang dimuat di majalah terbitan Kementerian Pertanian atau Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), sebuah karya tulis akan “dihargai” dengan 6 angka kredit atau hampir setara dengan 80 kali turun ke lapangan memberikan penyuluhan, sangat menguntungkan bukan?. Padahal tidak terlalu sulit untuk menghasilkan 2 – 3 tulisan per tahun.
Sedangkan untuk artikel yang dimuat oleh media seperti koran, tabloid yang diterbitkan oleh Kementerian Pertanian (seperti Warta Pangan, Sinar Tani dan sebagainya), satu tulisan “diganjar” dengan angka kredit senilai 2,5 dan untuk artikel yang dimuat di media lainnya, angka kreditnya 2. Kalau berdasarkan pengalaman penulis, menghasilkan 5 artikel dalam sebulan, bukanlah sesuatu yang mustahil. Itu artinya, menulis bukan hanya sangat bermanfaat, tapi juga menguntungkan bagi para penyuluh, ibaratnya “sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui”.
Namun, meski sudah di “iming-imingi” angka kredit yang begitu besar, masih saja terlihat keengganan para penyuluh untuk menulis. Dari analisa penulis berdasarkan pengamatan terhadap aktifitas penyuluh, setidaknya ada 3 penyebab keengganan penyuluh untuk menulis yaitu :
a. Penyuluh merasa tidak mampu atau kurang percaya diri untuk menulis, karena tidak atau belum pernah mencobanya.
b. Banyak penyuluh yang belum sepenuhnya familiar dengan teknologi informasi, sehingga merasa kesulitan untuk mengakses media yang bisa menjadi wahana mengirimkan tulisannya.
c. Relatif minimnya minat baca di kalangan penyuluh, sehingga mereka mengalami kesulitan untuk memperoleh referensi sewaktu akan mencoba menulis.
Adapun alasan kesibukan melaksanakan tugas sehingga tidak sempat untuk menulis, itu hanya alasan klise sebagai “pembenar” keengganan menulis saja, karena banyak pekerja lain yang punya kesibukan lebih dari para penyuluh, tapi masih juga sempat untuk menulis. Selain dari faktor di atas, ada fenomena yang mungkin juga menjadi penyebab para penyuluh ini “malas” menulis, yaitu minimnya apresiasi dari pimpinan instansi kepada mereka yang aktif menulis, khususnya di instansi tempat penulis bertugas. Meski sudah ratusan artikel yang penulis hasilkan, tapi sepertinya tidak ada respons apapun, apalagi penghargaan. Mungkin apa yang penulis alami ini, jadi salah satu alasan mereka jadi semakin enggan untuk menulis.
Terkait dengan “kelemahan” penyuluh di bidang pengetahuan menulis di media, sepertinya pelatihan menulis dan jurnalistik bagi para penyuluh bisa jadi solusi. Pelatihan semacam ini sebenarnya sudah menjadi sebuah obsesi yang sudah penulis  simpan sejak lama dan ingin penulis wujudkan pada tahun yang akan datang, tentunya bantuan para penulis senior, rekan-rekan wartawan dan pemerhati media, sangat penulis harapkan untuk merealisasikan “mimpi” ini. Kita ingin semua penyuluh bisa dan biasa menulis, karena aktifitas menulis sangat bermanfaat bagi mereka, selain bisa menjadi sarana untuk men”transfer” ilmu dan pengalaman yang mereka miliki kepada petani, menulis juga bermanfaat menunjang karir mereka.
Kalau saja para penyuluh mau menyimak apa yang pernah diungkapkan oleh Bahtiar Gayo, seorang wartawan senior Harian Waspada yang mengatakan bahwa “menulis itu seperti minum kopi, semakin dinikmati semakin membuat kecanduan”, tentu para penyuluh tidak hanya akan terbiasa menulis, tapi juga akan bisa merasakan nikmatnya menulis.
Penulis : Fathan Muhammad Taufiq (Sumber)
Previous
Next Post »
Post a Comment
Thanks for your comment