Tidak ada yang lebih penting dalam pergaulan umat manusia di dunia ini selain komunikasi yang bertujuan untuk menyampaikan suatu pikiran, gagasan atau ide, atau pesan dari seseorang kepada orang lain. Kita berkewajiban untuk mengupayakan segala cara untuk menggunakan semua alat yang ada agar penyuluhan menjadi efektif. media penyuluhan ini adalah salahsatu media visual yang memaparkan penyuluhan pada komoditi bidang pertanian, perikanan dan kehutanan.

Ketahanan Pangan Keluarga: Kenyang Tidak Harus Nasi

DIOLUHTAN-suluhtani. Pada penyuluhan pertanian kali ini, kita mencoba membuka cakrawala kita tentang ketahanan pangan keluarga, terlebih lagi dimasa pandemi Covid-19 yang dampaknya memang sangat luar biasa. Bukan hanya masalah kesehatan, tapi juga telah menggerus perekonomian masyarakat Indonesia bahkan dunia. Dampaknya banyak usaha terpaksa gulung tikar, sehingga berimbas pada pemutusan hubungan kerja (PHK). Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah pengangguran terbuka Agustus 2020 mencapai 9,77 juta atau naik 2,67 juta dari Agustus 2019. Pandemi Covid-19 tidak hanya menyebabkan jumlah pengangguran meningkat, jumlah jam kerja orang yang bekerja di kantor pun berkurang.

Diperkirakan jumlah pekerja yang terpapar virus corona mencapai 29,12 juta orang dan 70 persen diantaranya tinggal di kawasan perkotaan. Dari jumlah yang terpapar dampak buruk pandemi sebanyak 2,56 juta orang langsung menjadi pengangguran dan 24,03 juta mengalami pengurangan jam kerja.

Masalah pengangguran ini tentu harus segera dicari solusinya, agar masyarakat masih bisa memenuhi kebutuhan paling mandasar yaitu pangan. Untuk mencukupi kebutuhan pangan, sekaligus memberikan penghasilan, salah satu program strategis Badan Ketahanan Pangan (BKP) adalah Pekarangan Pangan Lestari (P2L). P2L ini sangat penting dikembangkan di daerah, baik di perkotaan maupun di pedesaan, karena hasilnya tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga, tetapi sebagian juga bisa dijual, sehingga memberikan penghasilan.

P2L juga menjadi salah satu perhatian utama Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo yang dalam berbagai kesempatan meminta jajarannya agar terus berupaya meme nuhi kecukupan pangan bagi 267 juta penduduk di Indonesia. Apalagi program ini juga menjadi salah satu Cara Bertindak (CB) program peningkatan ketersediaan pangan di era normal baru.

Dengan potensi lahan pekarangan di Indonesia yang mencapai sekitar 10 juta hektar (ha), program P2L bisa sebuah keniscayaan. Selama ini pekarangan memang kurang banyak mendapat perhatian. Padahal potensinya sebagai sumber pangan keluarga cukup besar. Diharapkan Kementan serius bersama-sama pemerintah daerah, maka P2L ini bisa menjadi solusi penyediaan pangan keluarga dan pengangguran.

Pada 2020, BKP menargetkan 3.000 P2L di 34 provinsi. Kegiatan P2L menyasar daerah prioritas stunting dan daerah rentan rawan pangan. Jika setiap kelompok beranggotakan 30 orang, maka keterlibatan masyarakat tersebut bisa mencapai 90.000 orang. Jumlah tersebut belum termasuk pemanfaatan pekarangan yang dikembangkan berbagai instansi, swasta maupun masyarakat secara mandiri. Jika ditambah sektor pertanian lainnya, tentu jumlahnya mencapai jutaan pekerja.

Bahkan P2L ini juga bisa menjadi sebuah program unggulan daerah. Sebab, hasilnya jelas yaitu memenuhi kebutuhan pangan dan menambah ekonomi rumah tangga. Jika kegiatan P2L dan pertanian keluarga terus dioptimalkan dan dikembangkan, maka ketahanan pangan Indonesia akan terus berkelanjutan. Kegiatan ini akan memicu masyarakat untuk mandiri dalam memenuhi sebagian kebutuhan pangannya, bahkan dapat menambah pendapatan.

Lumbung Pangan Masyarakat

Program lainnya yang menjadi tugas Kostratani adalah pengembangan Lumbung Pangan Masyarakat (LPM). Agung mengakui, bahwa ketahanan pangan memang harus dibangun melalui kemandirian dan kedaulatan pangan yang berasal dari produksi sendiri dengan memanfaatkan sumber daya lokal.

Penguatan LPM ini salah satunya dengan pengembangan pangan lokal. Bahkan pada Juli 2020, pemerintah telah mencanangkan Gerakan Diversifikasi Pangan Lokal. Gerakan tersebut sebagai upaya untuk mendorong ketersediaan dan konsumsi pangan yang beragam, bergizi seimbang dan aman. Artinya, pemerintah telah menabuh kembali genderang diversifikasi pangan. Pandemi Covid-19 menjadi momen untuk menggaungkan kembali program diversifikasi pangan yang sempat sunyi.

Seperti kita ketahui, ketergantungan terhadap beras sebagai sumber karbohidrat memang membuat tekanan terhadap upaya peningkatan produksi padi cukup tinggi. Tantangan meningkatkan produksi beras cukup besar. Selain jumlah penduduk yang terus bertambah yang kini mencapai 267 juta jiwa, konversi lahan kian masif dan perubahan iklim juga sulit diprediksi.

Salah satu cara mengurangi ketergantungan terhadap konsumsi beras adalah dengan kembali mendorong diversifikasi pangan dengan komoditas pangan lokal non beras. Kementerian Pertanian telah menyusun Road Map Diversifikasi Karbohidrat Pengganti Beras 2020-2024 yang terintegrasi dari hulu sampai hilir Berbagai kegiatan pun telah disusun, meliputi produksi, pasca panen, stok, peng olahan dan pemasaran hingga peman faatan berupa edukasi ke masyarakat. Dengan kegiatan itu, pemerintah berharap pre ferensi masyarakat terhadap pangan lokal meningkat. Jika melihat potensi sumber karbohidrat di dalam negeri, maka tidaklah kurang potensi pangan lokal Indonesia sebagai sumber pangan. Berbeda dengan program diversifikasi pangan sebelumnya, kali ini pemerintah memfokuskan pada enam komoditas sumber karbohidrat yakni, ubi kayu, jagung, sagu, pisang, kentang dan talas. Penetapan lokasi pengembangan pangan lokal ini berdasarkan potret kebiasaan masyarakat setempat.

Penyuluh Pertanian sedang Mengkonsumsi Makanan "Bassang" ydengan Bahan Dasar Jagung

Dengan diversifikasi pangan diharapkan dalam lima tahun ke depan, pemerintah menargetkan penurunan konsumsi beras nasional sebesar 7 persen. Jika tahun 2020 konsumsi beras sebanyak 92,9 kg/kapita/tahun, maka tahun 2024 ditargetkan konsumsi sudah turun 7 persen ke posisi 85 kg/kapita/tahun. Penurunan itu setara 1,77 juta ton senilai Rp 17,78 triliun.

Dengan catatan, penurunan konsumsi beras bisa dicapai asalkan ada intervensi dari pemerintah. Tanpa intervensi, penurunan konsumsi beras hanya mampu mencapai posisi 91,2 kg/kapita/tahun. Berkurangnya konsumsi beras harus diikuti kenaikan konsumsi pangan lokal.

Hingga tahun 2024, pemerintah menargetkan produksi ubi kayu sebanyak 185.613 ton dengan luas budidaya 19.600 hektar (ha). Target konsumsi naik dari 8,6 kg/kapita/tahun (tahun 2019) menjadi 18,1 kg/kap/tahun (tahun 2024). Ada 17 provinsi pengembangan yakni, Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, Bangka Belitung, Jawa Barat, DI Yogyakarta, Banten, Kalimantan Barat, Kalimanten tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara dan Jawa Tengah Untuk jagung konsumsi, pemerintah menargetkan produksi sebanyak 88.370 ton dengan luas 20.890 ha. Target konsumsi naik dari 2,2 kg/kapita/tahun (tahun 2020) menjadi 4,1 kg/kapita/tahun (tahun 2024). Daerah pengembangannya berada di 7 provinsi yaitu, NTT, Gorontalo, Jawa Timur, NTB, Sulawesi Tengah, Bali dan Lampung. Sementara pengembangan sagu berada di 7 provinsi yaitu Riau, Kepulaun Riau, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Maluku, Papua dan Papua Barat. Target pengembangan hingga 2024 seluas 7.400 ha dan produksi 26.600. Sedangkan konsumsinya naik dari 0,3 kg/ kapita/tahun menjadi 2,3 kg/kapita/tahun.

Bagaimana dengan kentang, pisang dan talas? Pengembangan kentang akan difokuskan di 4 provinsi yaitu, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat dan Maluku Utara. Dengan target produksi sebanyak 2,74 juta ton dan luas 132.157 ha. Sedangkan target konsumsinya menjadi 7 kg/kapita/tahun, naik dari 2,9 kg/kapita/tahun. Pengembangan pisang juga berada di 4 provinsi yaitu Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jambi dan Jawa Barat. Target luas lahan budidaya 10.520 ha dan produksi sebanyak 736.220 ton. Target konsumsinya naik dari 7,2 kg menjadi 9,5 kg/kapita/tahun.

Sementara untuk talas, pemerintah menargetkan produksi sebanyak 21.650 ton dengan luas budidaya 2.165 ha. Lokasinya di 14 provinsi yaitu, Papua Barat, Papua, Maluku, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, NTT, Bali, Kalimantan Barat, NTB, Maluku Utara, Kalimantan Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur dan Jawa Tengah. Target konsumsinya naik dari 0,6 kg menjadi 3,5 kg/kapita/tahun.

Diakui tantangan paling berat dalam program diversifikasi pangan adalah ketersediaan. Produksi pangan lokal sebagai sumber karbohidrat masih perlu ditingkatkan. Tantangan lainnya adalah olahan pangan lokal tersebut perlu ditingkatkan dan harganya juga belum kompetitif. Untuk itu perlu perlu edukasi masyarakat dan kampanye perlu ditingkatkan. Bersama penyuluh pertanian akan konsistem menggalakkan diversifikasi pangan di wilayah masing-masing dan menjadi sebuah gerakan di pekarangan rumah. Harapan besar kepada penyuluh pertanian atau Kostratani turut mengawal kegiatan ini di lapangan agar terus berkelanjutan.

Yusran A. Yahya NS (Sumber: Buku Kostratani, Gerakan Partisipasi Masyarakat dan Mobilisasi Penyuluh Pertanian 2021)

Previous
Next Post »
Post a Comment
Thanks for your comment